
DESAGLOBAL.ID - Asisten Staf Khusus Wakil Presiden
RI, Guntur Subagja Mahardika mengatakan, keberadaan masjid di hotel, restoran,
maupun mal, itu menjadi nilai tambah dalam meningkatkan pariwisata ramah
Muslim. Dia menyampaikan, aspek yang terkait dengan ibadah memiliki daya tarik
bagi industri pariwisata ramah Muslim.
"Jadi
bagaimana pariwisata ramah Muslim ini tinggal kita pertajam, kita kemas menjadi
satu produk yang menarik bagi wisatawan mancanegara," kata dia dalam
agenda Focus Group Discussion (FGD) daring bertajuk 'Penguatan Regulasi dan
Standarisasi Pariwisata Ramah Muslim di Indonesia', yang digelar Departemen
Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia (DEKS-BI), Selasa (6/9/2022).
Guntur
menekankan, pelayanan prima menjadi standar yang mendasar dalam pariwisata.
Karena itu, pariwisata ramah Muslim harus mengedepankan pelayanan prima dan
mengusung nilai-nilai etika. Terlebih di Indonesia terdapat berbagai potensi
pariwisata ramah Muslim. Antara lain ialah kuliner, destinasi, pariwisata
spiritual, seni dan budaya Islam, fasyen, gaya hidup, ekonomi kreatif dan
lainnya.
"Indonesia sudah memiliki semua pariwisata ramah Muslim. Misalnya kita punya situs-situs bersejarah dari Aceh sampai Papua, yang menceritakan story tentang kebangkitan Islam dan monumen yang bisa dijadikan sebagai destinasi wisata atau complement dalam industri wisata," paparnya.
Ketua Tim
Peneliti dari Enhaii Halal Tourism Center Politeknik NHI Bandung, Anang Sutono
menjelaskan, ini adalah FGD pertama dari total lima FGD yang akan digelar
DEKS-BI dalam mengakselerasi pengembangan pariwisata ramah Muslim. FGD ini
menjadi rangkaian acara menuju International Muslim Friendly Tourism Conference.
Konferensi internasional ini sendiri akan digelar pada 7 Oktober mendatang
dalam rangka penyelenggaraan Indonesia Sharia Economy Festival ke-9 selama 5
hari, pada 5-9 Oktober 2022.
Anang
menjelaskan, pariwisata ramah Muslim merupakan seperangkat layanan tambahan
amenitas, atraksi dan aksesibilitas. Layanan ini ditujukan dan diberikan untuk
memenuhi kebutuhan, keinginan dan pengalaman wisatawan Muslim. Untuk itu, ada
beberapa usulan rancangan resolusi untuk pariwisata ramah Muslim. Pertama, kata
dia, memastikan kehadiran regulasi yang terkait dengan panduan penyelenggaraan
pariwisata ramah Muslim.
Kedua,
mendorong regulasi tentang indikator pariwisata ramah Muslim sebagai instrumen
penilaian. Ketiga, mendorong strategi penguatan indeks daya saing pariwisata
ramah Muslim. Keempat, memastikan terwujudnya inovasi dan kreasi produk yang
mendukung pariwisata ramah Muslim.
Kelima,
terselenggaranya strategi peningkatan jumlah dan kualitas kunjungan wisatawan
Muslim. Kemudian keenam yaitu adanya strategi akselerasi peningkatan kualitas
industri pariwisata ramah Muslim. "Nilai destinasi pariwisata ini memiliki
manfaat ekonomi, sosial dan budaya, lingkungan, pengalaman, dan juga
pengetahuan," tuturnya.
Asisten
Deputi Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan RI, Thomas Siregar menyampaikan perlunya segera ditetapkan regulasi
dan standarisasi terkait layanan pariwisata ramah Muslim. Dia menjelaskan, saat
ini ada dua regulasi tentang kepariwisataan, yaitu Undang-Undang (UU) 10/2009
tentang kepariwisataan dan UU 33/2014 tentang jaminan produk halal.
Namun,
Thomas mengatakan, dua regulasi tersebut tidak secara khusus mengatur aspek
layanan pariwisata ramah Muslim. Kendati demikian, Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) pada 2016 telah mengeluarkan fatwa pedoman
penyelenggaraan pariwisata berdasarkan syariah. Di dalamnya diatur soal aspek
kepariwisataan seperti hotel, spa, sauna, objek wisata, dan biro perjalanan.
"Maka
harus ada segera regulasi untuk mendorong pariwisata ramah Muslim sebagai dasar
hukum penyelenggaraan layanan pariwisata ramah Muslim di Indonesia. Kita harus
segera mengambil peluang ini," tutur dia.
Thomas juga
menyebutkan, terminologi layanan pariwisata ramah Muslim perlu terus
disosialisasikan. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan MUI juga
harus melakukan percepatan proses sertifikasi dan standarisasi produk halal
UMKM untuk menunjang layanan pariwisata ramah Muslim.
Pemangku kepentingan yang lain seperti pemerintah daerah, terang Thomas, bisa mempersiapkan peraturan daerah yang mendukung penyelenggaraan layanan pariwisata ramah Muslim. Berdasarkan laporan Ekonomi Islam Global 2020-2021, Thomas menuturkan, terdapat enam sektor riil ekonomi Islam global. Di antaranya ialah makanan halal, media dan rekreasi, fesyen, kosmetika, produk farmasi, dan pariwisata ramah Muslim. Untuk perjalanan wisatawan Muslim dunia selama 2020-2021, nilainya menyentuh 194 miliar dolar AS.
Nilai
tersebut, lanjut Thomas, diperkirakan akan terus meningkat. Bahkan pada 2023,
diprediksi akan naik menjadi 274 miliar dolar AS. Bila dipersentase, wisatawan
Muslim sekarang ini mencapai 11 persen dari belanja pariwisata global. "Setelah
pembukaan perjalanan internasional, diproyeksikan wisatawan Muslim yang
bepergian jumlahnya akan mencapai 140 juta pada 2023 dan menjadi 160 juta pada
2024," tutur dia.